
Jakarta — Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) AKR yang berlokasi di Komplek Citra Garden Blok F-2, Kelurahan Pegadungan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, kembali menjadi sorotan setelah resmi beroperasi. Padahal, keberadaan SPBU ini sempat menuai protes keras dari warga sekitar sejak Mei 2024.
Warga menilai kehadiran SPBU memperparah kemacetan di kawasan yang memang sudah padat, dan menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan mereka. Lokasi SPBU yang berada di tengah permukiman padat serta berdekatan dengan gedung sekolah dinilai tidak sesuai aturan.
Ketua RW 03 Kelurahan Pegadungan, Santoso, membenarkan adanya penolakan warga terhadap pendirian SPBU tersebut.
“Iya, memang benar SPBU pernah diprotes warga sekitar,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Rabu (30/4/2025).
Dari pantauan di lapangan, SPBU AKR terlihat hanya berjarak beberapa meter dari Blossom School. Padahal, menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2018, pendirian SPBU harus berjarak minimal 500 meter dari fasilitas umum seperti sekolah.

Sekretaris Jenderal Kumpulan Pemantau Korupsi Bersatu (KPKB), Zefri, turut menyayangkan sikap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Mustahil jika camat dan walikota setempat tidak mengetahui persoalan ini,” ujar Zefri, Kamis (1/5/2025).
Ia menilai masalah ini bukan hanya soal kemacetan, tetapi juga menyangkut aspek keselamatan dan tata ruang yang sehat. Zefri juga menyatakan akan melayangkan surat keberatan resmi ke Kementerian ESDM dan mendesak evaluasi terhadap pihak-pihak yang menerbitkan izin.
“Bagaimana bisa PBG diterbitkan? Saya berharap Gubernur DKI Jakarta mengevaluasi pejabat di Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (DCKTRP),” tambahnya.
Sorotan juga datang dari aktivis lingkungan Rojai, yang menilai pembangunan SPBU ini berpotensi merusak keseimbangan lingkungan mikro di wilayah tersebut.
“SPBU membawa risiko kontaminasi tanah dan air jika tak dikelola dengan sistem pengamanan yang ketat. Apalagi ini berada di tengah kawasan padat dan dekat sekolah,” ujar Rojai.
Menurut Rojai, seharusnya dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau setidaknya dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) yang transparan kepada publik.
“Pembangunan fasilitas berisiko tinggi seperti SPBU tidak boleh hanya berlandaskan izin administratif, tapi harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan keselamatan publik,” tegasnya.
Rojai juga mengingatkan bahwa fungsi pengawasan lingkungan seharusnya dijalankan oleh Dinas Lingkungan Hidup, bukan hanya secara administratif tapi juga teknis di lapangan.
“Jangan sampai ada pembiaran yang kelak menimbulkan bencana bagi warga,” tutupnya.