
PUNCAK – Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kembali disorot tajam oleh warga kawasan Puncak. Karukunan Wargi Puncak (KWP) menyatakan kesiapan untuk bersinergi menyelamatkan hulu DAS Ciliwung dengan satu syarat: pemerintah berhenti menjadikan isu lingkungan sekadar ajang seremoni.
Pernyataan keras ini mencuat usai pertemuan Menteri LHK dan Gubernur Jawa Barat (19/6) di Jakarta yang digadang-gadang sebagai “langkah awal penyelamatan Puncak”. Namun bagi warga, terutama yang hidup berdampingan dengan longsor, banjir, dan sumber air yang semakin mengering, langkah awal saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah tindakan nyata.
“Kami menyambut itikad baik Gubernur. Tapi jujur saja, kami masih bertanya: KLHK ini niat atau cuma numpang tampil?” kata Dede Rahmat, Sekretaris KWP dan Juga Pembicara KWP
Fenomena alih fungsi kawasan konservasi di Puncak disebut KWP sudah seperti epidemi. Lahan negara yang seharusnya jadi paru-paru dan penyangga air justru berubah menjadi komoditas pariwisata, vila mewah, hingga glamping eksklusif.
“PTPN dan Perhutani sekarang lebih sibuk kerja sama dengan investor glamping daripada menjaga fungsi ekologis. KLHK ke mana? Masa iya nggak tahu?” cetus Dede.

Kebanyakan pembangunan berlindung di balik skema Kerja Sama Operasional (KSO). Meski di atas kertas legal, fakta di lapangan menunjukkan kerusakan masif dan hilangnya daya dukung kawasan.
Yang lebih memicu kemarahan warga, menurut KWP, adalah penyegelan yang tidak tepat sasaran. KLHK justru menyasar pengusaha kecil lokal yang bekerja sama dengan PTPN dan menjalankan usaha secara terbuka.
“Kami temukan beberapa usaha warga yang justru ramah lingkungan, malah kena segel. Tapi Taman Safari, EIGER Adventure Land, RM. Liwet Asep Stroberi, dan banyak lainnya justru aman-aman saja. Ini tebang pilih atau ada udang di balik batu?” sindir Dede.
“Kalau KLHK memang serius, kenapa yang besar-besar selalu luput? Apa karena mereka punya koneksi? Kami tidak tuduh, tapi masyarakat menilai,” tambahnya.
KWP juga menyatakan bahwa KLHK selama ini hanya muncul untuk menempel plang segel dan menggelar konferensi pers, tanpa tindak lanjut yang jelas. Akibatnya, bangunan tetap berdiri, aktivitas jalan terus, dan masyarakat makin hilang kepercayaan.
“Kalau cuma datang bawa drone, foto-foto, terus pulang, jangan heran kalau masyarakat jadi muak,” tegas Dede.
Di tengah minimnya langkah tegas dari pemerintah pusat, KWP justru sudah menyiapkan langkah konkret, antara lain:
1. Membuka data kawasan kritis berdasarkan pengalaman lokal
2. Menjadi mitra pengawasan langsung di lapangan,
3. Menggerakkan pemuda dan komunitas dalam aksi pemulihan ekologis.
“Kami bukan cuma siap. Kami sudah lama bergerak. Yang belum bergerak itu KLHK!” ucap Dede dengan nada tajam.
KWP mengingatkan bahwa Puncak adalah kawasan strategis nasional dan sumber air bagi jutaan warga Jabodetabek. Jika tidak diselamatkan, bukan hanya masyarakat lokal yang menderita, tetapi juga wilayah hilir yang akan menanggung akibatnya.
“Kalau Gubernur Jabar sudah gerak cepat, KLHK harus lebih cepat. Jangan terus bersembunyi di balik seremoni dan plang segel palsu,” ujar Dede.
Menutup pernyataannya, KWP menyampaikan pesan kuat namun terbuka untuk semua pihak dari pusat hingga desa :
“Ayo kita serius bereskan Puncak. Bersama-sama atasi apa yang menjadi masalah di sini. Jangan tunggu Puncak mati, baru ramai turun tangan,” tutup Dede. ( red ) Penulis : Joe Salim